Monday, May 25, 2009

Champs Élysées bernama Tanah Abang



Saat ini hobi baru saya adalah mengunjungi pasar grosir tanah abang (orang Betawi biasa bilang Tanabang) blok A di Jakarta Pusat, paling tidak sebulan sekali saya menyempatkan diri untuk bersilaturahim dengan para penjual pasar Tanabang untuk sekedar menyambung hidup di Jakarta ini, berbelanja baju dan tas disana dan dijual kembali di tanah kelahiran. Yah selain berprofesi sebagai seorang dokter, darah pedagang masih terlalu kental mengalir dalam diri saya, maklum kedua nenek saya adalah pedagang legendaris, Ibu Hj. Adnan, yang terkenal dengan batiknya disebuah sudut pasar Klewer dan Ibu Hj. Minarso, dengan toko klontongnya di pojokan perempatan Gondomanan Jogja.
Dahulu sebelum ada blok A, rasanya malas sekali untuk bertandang ke Tanabang mengantar ibu, namun sejak pusat perbelanjaan bergaya timur tengah itu mulai didirikan tak segan rasanya untuk pergi dan berbelanja disana. Setiap saat saya berbelanja, setiap saat itupula saya selalu melihat ada yang baru di Tanabang. Bangsa Indonesia, khususnya warga Jakarta harusnya sangat bangga memiliki pusat tekstil dan produk turunannya selengkap ini...
Tidak jarang mata saya melihat barang-barang bermerek Internasional bertengger diatas rak pajangan para penjual tas, mulai dari Louis Vuitton, Burberry, Coco Channel, Bonia, Anna Sui hingga Hermes yang dahulu kebanyakan hanya saya temukan dan lihat dibutik-butik mereka yang berjajar rapi di Avenue des Champs-Élysées, Paris. masalah kualitas, walaupun lebih banyak yang merupakan barang knock off (replika), namun banyak juga barang dengan kualitas istimewa yang tidak kalah dengan barang butik asli. Menurut saya, apalah arti sebuah tempat membeli, asal si empu pede aja, barang tanah abang bisa tampak seperti barang Champs-Élysées asal cocok, pede dan tidak berlebihan dalam pemakaian! Bahkan tak jarang, orang-orang berlogat Malay dan Singlish (Singaporean English) bercakap menawar barang disalah satu sudut pasar Tanabang. Mungkin mereka akan menjual kembali barang Tanabang dinegara mereka, dan dibeli oleh orang-orang kita yang sedang berwisata ke negri tetangga.
Pasar tekstil terbesar se ASEAN yang konon berdiri sejak tahun 1735 ini juga menyediakan berbagai macam parfum yang tidak kalah komplit dengan Sephora, sebuah jaringan butik parfum yang biasa terletak di kota-kota utama dunia. Masalah harga cincai lah... sebuah hobbos handbag gucci seharga 150.000 terbeli setelah tawar menawar yang alot, akhirnya dipakai istri karena modelnya yang catchy, 2 buah purse Anna Sui edisi vintage floral berhasil didapat setelah merelakan uang 150.000, sebuah untuk kado adik ipar, sebuah direlakan untuk hadiah ulang tahun kakak, postman bag coklat berlabel Mont Blanc dengan sertifikat produk asli Prancis dilego dengan harga 350.000, dan sekarang telah terbungkus rapi bersiap untuk menjadi hadiah ulang tahun bapak.


Permasalahannya disini bukan masalah mencintai merek dalam negeri atau tidak, walaupun segala sesuatu yang saya sebutkan diatas merupakan top brands dibidang apparel fashion, sebagian besar produk adalah bikinan tangan-tangan terampil manusia Indonesia yang gagal memenuhi kualifikasi ekspor. Saat berkesempatan berjalan-jalan di Paris dulu, sering saya melihat orang-orang bertampang Indonesia yang keluar dari butik Louis Vuitton dengan menenteng kardus-kardus dan tas berlogo LV, saat itu dalam pikiran saya, alangkah kaya nya orang tersebut, disaat rekan saya seorang dokter Russia yang telah lama tinggal di Normandy pun hanya mampu berujar cukup sekali saat natal, kami mampu membeli tas Louis Vuitton. Namun saat saya mengetahui betapa kaya nya kreatifitas dan produksi Indonesia, alangkah bodohnya orang-orang yang hanya mengejar gengsi menghamburkan devisa hanya untuk sekedar berbelanja di suatu Sale di Singapura, Milan, atau Paris...
Mungkin suatu saat predikat "La plus belle avenue du monde" bisa pula disandang oleh suatu jalan di tanah air yang tidak saja memperlihatkan keindahan nya juga mampu menarik wisatawan dengan harganya yang masih dijangkau rasio!
Mau bicara tekstil dan produk turunannya, Indonesia-lah surganya...

Saturday, February 21, 2009

Puyeng..Puyeng..Puyer...


Beberapa minggu terakhir santer diberitakan oleh stasiun TV swasta tertua kita mengenai pro kontra peresepan puyer untuk pasien anak-anak. Menurut saya, sangat pemberitaan tersebut sangat tidak berimbang, dokter terkesan dipojokkan dengan peresepan polifarmasi, yang sebetulnya tidak semua dari kami merepsepkannya. Sebenarnya huru hara puyer ini dimulai dari liputan investigatif mengenai sebuah apotek yang kurang menjaga higyne dengan menggerus obat menggunakan chopper yang sangat kotor oleh bekas-bekas obat, eeeehh.. nggak lama kok malah dokter yang ngresepin puyernya yang digunjingkan, sungguh aneh...
Saya berpendapat, kok kelihatannya ada pemelencengan berita yah.. dari yang semula membahas chopper untuk obat-obatan yang masih tercampur obat lama, menjadi dokter yang dituding tidak profesional karena masih meresepkan puyer. Mungkin, ada pesanan beberapa pihak untuk sengaja dibelokkan biar, obat paten lebih dilirik untuk diresepkan, karena bila penggunaan puyer tetap tinggi, toh obat paten yang hargana masih mahal bagisebagian besar masyarakat Indonesia itu kurang laku!
Anyway, bu Mentri kita yang menurut saya hebat! telah memutuskan bahwa puyer adalah obat terbaik bagi anak-anak Indonesia... Sebenernya sih saya tidak kontra juga tidak pro banget dengan puyer. Toh kami para dokter, tetap kecipratan lebih banyak bila meresepkan obat paten, tapi yang disayangkan, kami masih memikirkan lemahnya daya beli sebagian besar masyarakat akan obat paten, selain itu banyak keluhan orang tua mengenai sulitnya putra-putrinya dalam menelan obat, yang notabene, banyak yang ditujukkan untuk dewasa (karena kurangnya sediaan obat paten yang dikhususkan bagi anak-anak di Indonesia ini-e.g: dexametason, mefenamic acid), juga kultur masyarakat yang kurang puas bila hanya diberi satu macam obat. Toh anak-anak tersebut juga capat sembuh dengan diberi puyer! dan otomatis, pasien akan beralih ke dokter lain dan menjelek-jelekkan dokter yang kurang beruntung tersebut kesemua kenalannya.
Memang, kalo menurut pendapat saya sih lain ladang lain belalang, jangan samakan kultur kita dengan kultur jurnal-jurnal penelitian yang sebagian besar ditulis oleh orang bule. Alhamdulillah saya pernah diberi kesempatan melihat seperti apa pharmacy mereka, seperti apa pharmacyst mereka, saya punya teman seorang pharmacyst dari Pecs, Hungaria, Ency Enyedi. Dari sediaan obatnyapun mereka lebih lengkap (dalam hal obat pediatrik) dibanding negri tercinta kita, pola penyakitnyapun kemungkinan besar beda, walau penelitian mengisyaratkan 80% penyebab common cold pada anak adalah viral infection, apakah tidak ada kemungkinan pola penyebab common cold di Indonesia berbeda? buktinya dengan pemberian antibiotik rasional (saya selalu meresepkan antibiotik syrup pada pasien anak, dan tidak pernah dipuyer) pada pasien pediatri akan lebih cepat meredakan panas dan batuk berdahak dibanding tanpa antibiotik.
Mungkin beberapa tips berikut berguna bagi sejawat dan orang tua pasien,
  1. selalu tanyakan pada orang tua pasien apakah obat mau dalam bentuk sediaan syrup, tablet atau dipuyer.
  2. jangan pernah memuyer antibiotik, apalagi dengan mencampurnya dengan puyer obat lain, sebab menurut saya, banyak kejadian alergi dan akan sulit untuk mentracing dari manakah obat yang menjadikan alergen selain itu sediaan syrup lebih mudah dan lebih disukai.
  3. jangan mencampur puyer antipiretik dengan obat jenis lain, karena disaat tubuh sudah mencapai suhu yang normal, antipiretik akan tetap teminum bersama dengan obat dalam puyer lainnya, gunakanlah syrup antipiretik, karena telah banyak tersedia di pasaran.
  4. antibiotik rasional hanya digunakan apabila pasien dengan pemberian antipiretik saja tidak kunjung sembuh setelah beberap hari, dan masih ada tanda-tanda infeksi, seperti batuk berdahak hebat, mucus berwarna kuning kehijauan, dan tenggorokan yang meradang.
  5. swap leukosit sukar dijumpai dalam praktek klinik di Indonesia, jadi jangan harap menemukannya, hahaha... dasar RCTI ada-ada aja tipsnya!
  6. Sebagai dokter, kita melakukan therapeutics trading, jadi pasien adalah raja, dan kita hanya menunjukkan jalan yang benar.
semoga berguna!

Habibie Siap Untuk Go Blog! Kembali

Hai, beberapa hari kedepan Blog ini akan saya aktifkan kembali...
Maaf sudah ahmpir setahun ditinggal hehehe.. ditinggal kawin, ditinggal makaryo.. pokoke sibuk!

Monday, April 28, 2008

Alesan vakum beberapa minggu ini...

Sebenernya sih pengen nulis banyak di blog...tapi ada beberapa alesan yang membuat saya vakum untuk melakukan hal ini akhir-akhir minggu ini...
1. Simposium Juni yang bener-bener menguras tenaga dan pikiran, maklum pusiiiiing.... ngurusinya, cuma 12 orang, mana jadi chairperson dan pembicara....
2. Al Haram menunggu untuk disambangi, sudah dipanggil sama 4JJ untuk menghadap di rumahnya, jadi ya mau nggak mau vakuuuum...
3. Speedy yang semakin lemoooot dan bikin malessetelah saya pulang dari al Haram..

ok mungkin beberapa hari lagi saya akan kembali aktif.

Thursday, March 13, 2008

Avian Influenza ; Fadilah Supari VS US-WHO




Kemaren saya mendapat e-mail yang berisi tentang kelanjutan kasus Siti Fadilah Supari, Menkes Indonesia, yang menulis buku mengenai konspirasi global antara WHO dan pemerintahan George W Bush, dalam memanipulasi spesimen virus H5N1 yang dikirim Indonesia kebadan kesehatan dunia itu. Memang denger-denger sampe sekarang nggak kedengeran gimana nasib spesimen virus itu, apa mereka pikir Indonesia nggak mampu bikin vaksin?

Sekarang kita bisa analogikan, walau agak maksa sih, China memiliki Panda sebagai binatang nasional, binatang yang tidak dimiliki negara lain, jadi kebun binatang manapun di dunia yang ingin memajang Panda di tempatnya, harus membayar royalti yang tidak sedikit untuk pemerintah China, denger-denger dari National Geographic, Royal London Zoo harus merelakan ribuan Pounds setahun untuk memajang giant panda di kebun biinatang nya. Sekarang dengan Indonesia, flu burung yang konon ditemukan 58 varian asal Indonesia, seenaknya aja diambil tanpa bayar royalti. Dasar, negara kita emang selalu diinjek-injek, kenapa juga sih Pindad nggak coba bikin senjata biologis berisi virus H5N1, atau dikirim aja ke Ahmadinejad, yang jelas-jelas sahabat kita, biar mereka bisa serang Israel dengan jumawa. Emang nggak ada habisnya bila mau menghujat si "polisi dunia" itu.. dasar Kampret!

Ini cuplikan e-mailnya..




Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1). Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusaha an dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal dinegara berkembang, termasuk Indonesia .

Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change.

Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. "Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta , Kamis (21/2).

Situs berita Australia , The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.

Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. "Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan.
Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport , dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya," ujarnya.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2000 buku.

"Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar," katanya.

Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. "Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush," ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran.
"Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia , sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu. Mengubah Kebijakan Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia.

Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun. Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.

Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. "Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, " tulis The Economist.

The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) diHongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam . Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam , negara korban, kemudian menjualnya keseluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.

Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC.Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico , AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui.
Los Alamos ternyata berada di bawah kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima . Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos , memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia , yang konon telah ditempatkan diBio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon.

Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO diakhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Wednesday, March 5, 2008

Revised-Hippocratic Oath

Sore ini note book di rumah diserang trojan, jadi lumayan bikin pusing, emosi dan konyol! Lagian alesanya sepele, kakak ipar secara isengnya mengoperasikan pen drive tanpa didahului ritual virus scan, dan voila! direct hit ke Windows System... tersebarlah segala "love letters kampungan" ke hampir semua folder dan membikin lumpuh si note book, jadi mulai hari ini, setidaknya seorang dokter akan merubah sumpah hippocrates, dan bermimpi semoga semua dokter dibelahan dunia manapun akan melakukan hal yang serupa!

I swear by
Apollo Physician and Asclepius and Hygeia and Panaceia and all the gods and goddesses, making them my witnesses, that I will fulfill according to my ability and judgment this oath and this covenant:

To hold him who has taught me this art as equal to my parents and to live my life in partnership with him, and if he is in need of money to give him a share of mine, and to regard his offspring as equal to my brothers in male lineage and to teach them this art - if they desire to learn it - without fee and covenant; to give a share of precepts and oral instruction and all the other learning to my sons and to the sons of him who has instructed me and to pupils who have signed the covenant and have taken an oath according to the medical law, but no one else.

I will apply dietetic measures for the benefit of the sick according to my ability and judgment; I will keep them from harm and injustice.

I will neither give a deadly drug to anybody who asked for it, nor will I make a suggestion to this effect. Similarly I will not give to a woman an abortive remedy. In purity and holiness I will guard my life and my art.

I will not use the knife, not even on sufferers from stone, but will withdraw in favor of such men as are engaged in this work.

I will use knife to decapitate computer virus maker with my own hand and will not give any medical attentions, services and helps when they're suffers from pain and desease.

Whatever houses I may visit, I will come for the benefit of the sick, remaining free of all intentional injustice, of all mischief and in particular of sexual relations with both female and male persons, be they free or slaves.

What I may see or hear in the course of the treatment or even outside of the treatment in regard to the life of men, which on no account one must spread abroad, I will keep to myself, holding such things shameful to be spoken about.

If I fulfill this oath and do not violate it, may it be granted to me to enjoy life and art, being honored with fame among all men for all time to come; if I transgress it and swear falsely, may the opposite of all this be my lot.

Cheers...


Monday, February 18, 2008

Baby's day out!


Maksa sih...
Dari judulnya aja maksa, Baby's day out, hehe..nyomot dari film tahun 1994. Alesanya sih simpel, pertama orang rumah selalu manggil aku dengan sebutan beby, temen-temen di rumah sakit apalagi manggil selau dengan sebutan mas Beby, hehehe..sekarang jadi rada mirip to?antara Beby dengan Baby (bukan babi! some people call me that as a joke!) . Dan alesan yang kedua, dalam kurun waktu 7 tahun belakangan ini, baru kemaren saya merasakan indahnya hidup (selain merasakan angin malam di Paris, hehehe..), dimana semua temen-temen deket jaman SMU kumpul buat menghadiri pernikahan salah satu anggota kumpul-kumpul kita. Dari 14 orang yang selalu bareng, kemaren hanya 6 orang yang ikut acara lanjutan makan-makan. Rasanya benar-benar keluar dari rutinitas harian yang sangat membosankan...
Multidisciplinary forum, huahahaha..istilah keren bikinan saya, kok bisa?! Karena memang, dari 14 orang yang kumpul kemaren, hanya 2 yang jadi dokter, sisanya ada yang jadi apoteker, guru bahasa Inggris, pengusaha warnet, IT programmer, supervisor toko buku, hakim, jadi kumplit. Dan tentu saja, yang membuat saya merasa sangat senang adalah, we're all making jokes of our profession. Mulai dari mosi tidak percaya kebanyakan orang bila datang berobat ke saya, hingga guyonan rekan saya yang mau diangkat menjadi penasihat IT di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sungguh hari yang menyejukkan, disela-sela kesibukkan kerja..

Thursday, February 14, 2008

Hastiti Skin Care - Dr. Moewardi General Hospital



Pagi ini tampak ada sesuatu yang spesial dihalaman parkir depan RS Dr Moewardi Solo, arus kendaraan yang hendak parkir di area parkir belakang rumah sakit tampak sedikit dibelokan, penyebabnya adalah bangunan tenda berbalut satin putih dengan panggung kecil di bagian depan ruang perawatan cendana. Dalam hati pasti setiap orang bertanya, gawe apa gerangan yang bakal dilakoni direksi Moewardi kali ini.


Oh lala.. ternyata peresmian Hastiti skin Care, sebuah beauty clinic dan perawatan kulit aseli made in Moewardi. Bangga sih bangga, tapi ditilik dari segi marketing, menurut saya pemilihan nama "Hastiti" yang menurut pak direktur bermakna "sehat-setiti-dan teliti" ini sangat tidak marketable!Bukannya sewot sih, tapi kalo memang menilik dari mayoritas pasien RS Dr Moewardi yang memang penganut setia quotes William Shakespare "apakah artinya nama", nama "Hastiti skin care" saya kira tidak menjadi masalah. Tapi apakah targeting dari klinik kesehatan kulit tersebut hanya ditujukan untuk pasien-pasien tetap RS. Muwardi yang nota bene kurang mempermasalahkan nama itu? kalau saya yang jadi direktur tentau saja jawaban saya tidak!
Dari beberapa rekans yang saya temui dan telpon sejak pagi tadi, seluruhnya menyatakan nama "Hastiti" tidaklah marketable!hehe..bahkan beberapa ada yang mengatakan katrog dan kampyungan.. tapi kenapa juga kita mesti sewot yah?toh juga kita nggak ikut buat. Tapi yo tetep aja konyol, anyel campur-campur..bukannya nama Dr. Moewardi skin clinics lebih berwibawa dibanding Hastiti? Atau nama Solo skin care jauh lebih marketable dari Hastiti. Heran deh cuma pilih nama wae kok ga bisa....oalah dokter Indah, kok nggak usul nama yang agak bagusan.


Tapi walau bagaimana, bangga juga biar kata rumah sakit negeri udah punya skin care clinic yang lebih wah dari Natasha, LBC ataupun Larissa, gimana ngga klinik-klinik kecantikan yang sudah saya sebutkan tadi pemiliknya aja bukan dokter kulit, sedang disini hehe..semua staff kulit mulai dari doktor hingga guru besar, ahli aesthetic surgery ngumpul semua, ada klinik bedahnya lagi, jadi suka deh, tapi yah apa boleh buat, apalah artinya sebuah nama..

Thursday, January 31, 2008

Serangan Lintah


Bhuhuhu...dari judulnya posting ini mirip judul film fiksi ilmiah gaya Hollywood, namun memang benar, sudah lama laporan serangan lintah pada manusia dilaporkan dalam dunia kedokteran. Tak ayal di Indonesia, dimana sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan, dengan kelembaban tinggi dan suhu yang relatif stabil, suatu komposisi yang disukai lintah.

Lintah atau dalam ilmu taksonomi bernama Hirudo medicinalis memang merupakan hewan invertebrata yang tersebar hampir diseluruh dunia, hewan ini memiliki zat antikoagulan dalam liurnya yang akhir-akhir ini sering dipakai untuk pengobatan thrombus. Dalam bidang medis, banyak dilaporkan serangan akibat lintah, dan mayoritas dari pasien memang memiliki riwayat berwisata di daerah basah semisal pegunungan dan sungai / jeram.


Sebuah kasus yang pernah ditangani bagian THT RS Dr Moewardi Solo, ialah seorang pria dengan lintah yang "menyangkut" dalam rongga hidung. Pasien datang dengan keluhan lemas (anemia, karena darah yang dihisap lintah terus menerus dan dalam waktu lama), hidung buntu (karena ukuran lintah yang makin membesar), dan riwayat mimisan dan diteruskan dengan muntah darah / hematemesis. Mimisan diras berhenti karena darah yang keluar tidak dapat mengalir melaui lubang hidung luar dikarenakan adanya sumbatan lintah, dan akhirnya darah akan mengalir melalui lubang hidung belakang dan keluar sebagai muntahan darah. Setelah dilakukan scanning ditemukan adanya gambaran hiperdens pada daerah rongga hidung, setelah dilakukan endoscopy voila! ditemukan adanya lintah yang berukuran lumayan besar. Setelah ditelusuri, memang ditemukan riwayat pasien pernah berwisata ke daerah air terjun Grojogan Sewu di kawasan wisata Tawang Mangu Solo.

Kasus serupa juga pernah dilaporkan di Taiwan, bahkan kasus serangan lintah yang pernah dilaporkan di Eropa bermanifestasi menjadi perdarahan saluran kemih (hematuria) yang diakibatkan serangan lintah kedalam kandung kencing yang masuk melalui alat kelamin.

Jadi, alangkah lebih bijaknya untuk tidak berendam atau menggunakan air sungai untuk sekedar membasuh wajah, sejernih apapun airnya. Kita tidak akan pernah tahu bahaya yang selalu mengancam kita dibalik air jernih tersebut.

Cheers..