lebaran hari ke-3 kami sekeluarga berencana melancongke Jogja untuk bersilaturrahim kekeluarga besar ibu, sengaja kami berangkat siang hari agar kami dapat merasakan makan sian di Jogja. Pilihan kami pada waktu itu adalah sate kambing, maklum sudah sebulan puasa sate kambing. SAMIRONO, sebuah warung sate kambing dengan model jagrak Solo (bumbu kecap) tenar di Jogja akan kami jajal siang itu, kesan pertama kami kepada warung sate itu adalah penuh, banyak terlihat orang-orang dengan aksen ibukota dan beberapa warga jogja bejibun memadati warung sate samirono. Sebagai main course kami pesan sate kambing spesial, sate buntel, gule dan tongseng, lengkap dengan nasi dan es teh.
Suapan pertama sate, saya sudah kecewa, apalagi melihat penampilan tongseng dan gulenya, kemudian saya bertanya dalam diri saya, ada apa gerangan pada penikmat sate samirono ini? apa mereka belom pernah merasakan sate kambing Solo? Jauuuuh sekali kualitasnya... Bagaimana warung ini dapat bertahan berpuluh tahun hingga dapat membuka 4 cabang (kesemuanya di jOgja, mungkin tidak berani ekspansi ke Solo, karena jelas tidak laku, hehe..)
Dalam menikmati sate ada 3 kriteria pembuatan yang harus dipenuhi, yang pertama adalah kelembutan dan keempukan daging, dalam hal ini sate samirono emang bagus dalam mengolah daging kambing lembut dan empuk, untuk mendapatkan daging yang empuk dan lembut, biasanya pedagang memilih daging cempe (anak kambing) atau merendamnya dalam larutan nanas atau daun pepaya. Poin kedua yaitu output aroma sate, dapat diakali dari bumbu celupan sebelum pembakaran, car amembakar, dan penambahan gajih kambing dalam tusukan sate, aroma Sate samirono sangatlah tidak sedap, rasanyapun kurang nendang banget, dan yang paling memprihatinkan masih prengus kambing, sebagai catatan, prengus kambing memang sebagai aroma yang kadang boleh muncul dalam ste kambing, namun harus diminimalisir mungkin atau dihilangkan, agar si penikmat sate tidak terganggu.
Poin ketiga dan yang terpenting dalam pembuatan sate jagrak Solo ialah finishing touch nya, Kecap kelas wahid diperlukan, kecap khusus sate, dalam pemenuhan poin ketiga inipun Samirono tampaknya gagal dalam memanjakan lidah kami, para penikmat sate gagrak Solo.
Siang itu hanya umpatan yang ada dalam benak saya dan keluarga, selain itu sate buntel kok dibakar mirip steak, menggunakan jepit barbeque tanpa disunduk, kahanan opo maneh iki... dan bungkus lemak yang digunakan untuk membuntel daging cacah, prengusnya setengah mati.
Keadaan ini diperburuk dengan cara penyajian tongseng, tongseng kok dimasak pake kompor gas, ya aromanya nggak masuk, dan cuernya kaya duduh sop, mana kobis yang digunakan masih mentah, jadi tidak ikut dimasak, sungguh bikin males...
Masalah gule lain lagi problemnya, usus masih dibiarkan panjang, jadi nggak dpotong-potong pendek dulu. oalahhh... kami sungguh malu bila tau ada makanan kaya gini kok jadi acuan di Jogja...
Bu tutik dan pak Bejo solo, kalian tetap nomer 1...