Sunday, December 30, 2007

Banjir maning..




Kacau! udah sejak tanggal 25 dec, sampe sekarang, Solo timur dan selatan tetep aja banjir. Sempet surut sih, tapi hari ini tadi masih aja banjirnya, kesian..
Sejak terakhir kali banjir besar, pada tahun 1966, Solo merupakan daerah steril bencana (kecuali bencana yang diakibatkan massa pendukung salah satu calon presiden yang gagal dan geger cina di tahun 1998). Namun sekarang, ironisnya, setelah beberapa hari ketok palu di Bali masalah Global Warming, Solo dan wilayah disekitarnya sudah mendapat efek dari bencana global tersebut. Solo bagian timur, dimana dilewati sungai bengawan solo, daerah sekitar Pucang Sawit dan Kampung Sewu, hancur diobrak-abrik banjir. Jalan Raya bagaikan toko mebel raksasa yang hancur disapu banjir, mulai dari sofa, kasur sampe mobil berlumur lumpur berserakan dijalan.
Lebih parah lagi daerah Solo selatan, Kampung joyotakan, semanggi, hampir seluruh daerah rendah berpenduduk padat, direndam berhari-hari oleh banjir. Ngeri banget ngga sih.. Beribu pengungsi tidur diemper-emper jalan, macet otomatis terjadi dimana-mana. Dan sempet juga buka posko pengungsi, kerjasama dengan PAPDI (persatuan ahli penyakit dalam) solo, melayani pengobatan bagi korban banjir di daerah Joyotakan.
Kasus terbanyak ialah common cold akibat terlalu lama
kontak dengan air dan udara malam kota solo. Terbanyak kedua adalah tertusuk paku saat beberes, tapi sayang kami memiliki keterbatasan dalam memiliki ATS. So, terpaksa merujuk RS untuk mendapat suntikan ATS...
Berapa puluh orang lagi yang akan tersiksa dengan "lock jaw" huwallohu 'alam bishowab..

L'epicerie


Kali ini saya mau berbagi pengalaman sedikit masalah bistrot yang saya sambangi di Strassbourg. L'epicerie namanya, bistrot di sudut gang sempit yang selalu dipenuhi oleh turis untuk menikmati tartine (semacam roti bakar dengan bermacam topping).


Saat masuk ke dalam bistrot ini kesan yang saya temui pertama adalah interiornya yang sangat sederhana, mirip sebuah toko kelontong tua yang menurut saya jauh lebih elegan dari disain-disain interior kafe-kafe dan resto modern.



Interiornya sangat "hangat" dan familier, walau terkesan tidak mewah tapi benar-benar chic. Mulai dari reklame-reklame lawas yang dipasang didinding, hingga lemari klontong yang berisi sikat lantai, bar soap, dan peralatan-peralatan "jadoel" lainnya.



Selain itu menunya, yang sebagian besar berupa tartine, sebuah roti keras a la eropa, yang dibakar dan diberi topping beraneka ragam, mulai dari tuna, angsa hingga madu dan almond, sangat menggugah selera. Walau porsi eropa yang cenderung posi nanggung dan porsi buat jaim (nggak seperti makanan solo yang porsinya bejibun), tapi rasanya pas diperut, nggak bikin kenyang, tapi udah ngilangin laper.


Masalah harga, yah lumayan mahal buat kantong WNI, sepiring roti bakar dihargai 40 ribu sampe 70 ribuan rupiah. Padahal di solo dengan harga segitu bisa dapet seember roti bakar + keju dan coklat, huehehehe. Tapi apa sih yang nggak buat sekedar pengalaman. Yang penting bagi saya "sudah pernah mencoba" dan wareg...

Cheers..