Dahulu sebelum ada blok A, rasanya malas sekali untuk bertandang ke Tanabang mengantar ibu, namun sejak pusat perbelanjaan bergaya timur tengah itu mulai didirikan tak segan rasanya untuk pergi dan berbelanja disana. Setiap saat saya berbelanja, setiap saat itupula saya selalu melihat ada yang baru di Tanabang. Bangsa Indonesia, khususnya warga Jakarta harusnya sangat bangga memiliki pusat tekstil dan produk turunannya selengkap ini...
Tidak jarang mata saya melihat barang-barang bermerek Internasional bertengger diatas rak pajangan para penjual tas, mulai dari Louis Vuitton, Burberry, Coco Channel, Bonia, Anna Sui hingga Hermes yang dahulu kebanyakan hanya saya temukan dan lihat dibutik-butik mereka yang berjajar rapi di Avenue des Champs-Élysées, Paris. masalah kualitas, walaupun lebih banyak yang merupakan barang knock off (replika), namun banyak juga barang dengan kualitas istimewa yang tidak kalah dengan barang butik asli. Menurut saya, apalah arti sebuah tempat membeli, asal si empu pede aja, barang tanah abang bisa tampak seperti barang Champs-Élysées asal cocok, pede dan tidak berlebihan dalam pemakaian! Bahkan tak jarang, orang-orang berlogat Malay dan Singlish (Singaporean English) bercakap menawar barang disalah satu sudut pasar Tanabang. Mungkin mereka akan menjual kembali barang Tanabang dinegara mereka, dan dibeli oleh orang-orang kita yang sedang berwisata ke negri tetangga.
Pasar tekstil terbesar se ASEAN yang konon berdiri sejak tahun 1735 ini juga menyediakan berbagai macam parfum yang tidak kalah komplit dengan Sephora, sebuah jaringan butik parfum yang biasa terletak di kota-kota utama dunia. Masalah harga cincai lah... sebuah hobbos handbag gucci seharga 150.000 terbeli setelah tawar menawar yang alot, akhirnya dipakai istri karena modelnya yang catchy, 2 buah purse Anna Sui edisi vintage floral berhasil didapat setelah merelakan uang 150.000, sebuah untuk kado adik ipar, sebuah direlakan untuk hadiah ulang tahun kakak, postman bag coklat berlabel Mont Blanc dengan sertifikat produk asli Prancis dilego dengan harga 350.000, dan sekarang telah terbungkus rapi bersiap untuk menjadi hadiah ulang tahun bapak.
Permasalahannya disini bukan masalah mencintai merek dalam negeri atau tidak, walaupun segala sesuatu yang saya sebutkan diatas merupakan top brands dibidang apparel fashion, sebagian besar produk adalah bikinan tangan-tangan terampil manusia Indonesia yang gagal memenuhi kualifikasi ekspor. Saat berkesempatan berjalan-jalan di Paris dulu, sering saya melihat orang-orang bertampang Indonesia yang keluar dari butik Louis Vuitton dengan menenteng kardus-kardus dan tas berlogo LV, saat itu dalam pikiran saya, alangkah kaya nya orang tersebut, disaat rekan saya seorang dokter Russia yang telah lama tinggal di Normandy pun hanya mampu berujar cukup sekali saat natal, kami mampu membeli tas Louis Vuitton. Namun saat saya mengetahui betapa kaya nya kreatifitas dan produksi Indonesia, alangkah bodohnya orang-orang yang hanya mengejar gengsi menghamburkan devisa hanya untuk sekedar berbelanja di suatu Sale di Singapura, Milan, atau Paris...
Mungkin suatu saat predikat "La plus belle avenue du monde" bisa pula disandang oleh suatu jalan di tanah air yang tidak saja memperlihatkan keindahan nya juga mampu menarik wisatawan dengan harganya yang masih dijangkau rasio!
Mau bicara tekstil dan produk turunannya, Indonesia-lah surganya...